by

Brigadir Novie Berbagi Pengalaman Selama Bertugas Jaga Perdamaian di Sudan Selatan

Kabargupas.com, BALIKPAPAN – Brigadir Novie, personel Kepolisian Daerah Kalimantan Timur (Polda Kaltim) yang saat ini bertugas di Bag. Psikologi Ro. SDM Polda Kaltim, membagikan pengalamannya selama bertugas menjadi seorang penjaga perdamaian (peacekeeper) Formed Police Unit (FPU) di Sudan Selatan, Afrika Tengah.

Selama bertugas di sana, Novie mengaku banyak hal yang tidak menarik dan yang menarik. Dikatakan tidak menarik, karena di Sudan Selatan daerahnya adalah gurun semua dan semua pemandangannya sama.

“Cuma lebih ke pengalaman saja. Mungkin sesama kita Polwan, saya pun bertugas, ibaratnya kami punya pengalaman tersendiri, sudah pernah keluar negeri. Apalagi ditugaskan di bawah naungan PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa),” kata Novie, ditemui kabargupas.com di kawasan Kompleks Ruko Balikpapan Baru, Rabu (31/08/2022).

Kalau untuk pengalaman, lanjut Novie, jelas pengalaman berbeda dengan Polwan yang belum pernah bertugas di sana atau belum ada kesempatan berangkat ke sana. Bagi dirinya, bisa mengemban tugas sebagai penjaga perdamaian di bawah naungan PBB, tentu menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi dirinya.

Berapa lama bertugas di Afrika Tengah, Novie menjelaskan, dirinya kebetulan adalah Polwan FPU angkatan pertama yang bertugas di Sudan Selatan, Afrika Tengah. Sebelumnya, PBB ini tidak pernah memberangkatkan Polwan. Jadi, angkatan dirinya adalah yang pertama. Itu 2018. Pada 2018 pelatihan (hampir 1 tahun), dan pada 2019-2020 atau selama 2 tahun dirinya mengemban tugas menjaga perdamaian di Sudan Selatan.

“Saya penugasannya 2 periode karena pandemi COVID-19, jadi semua negara lock down. Kita tertahan di sana (Sudan Selatan) karena tim FPU dari Indonesia tidak ada aplusan atau personel pengganti. Jadi personel yang ada, kemudian diteruskan untuk menjalankan tugas pengamanan perdamaian tersebut,” jelas Novie.

Kalau ditanya tugas, lanjut Novie, karena Polwan hanya 10 wanita yang berangkat, tidak ada perbedaan gender. Jadi semua tugas sama, baik jaga malam, patroli, dan lainnya Termasuk piket dapur yang menyediakan kebutuhan makan dan minum kepada para personel penjaga perdamaian di campnya.

Untuk komunikasi dengan masyarakat di sana, ujar Novie,  ada beberapa warga yang bisa berbahasa Arab. Kemudian kalau di super camp, personel Indonesia bergabung dengan personel dari China, Yordania, dan Mesir, dirinya menggunakan Bahasa Inggris atau Bahasa Arab.

“Kesan-kesan selama bertugas di sana banyak ya, menarik lah. Kita patut bersyukur tinggal di Indonesia ya, bisa melihat pemandangan atau tanaman yang hijau-hijau, karena di Afrika Tengah, khususnya di wilayah Sudan Selatan kondisinya gersang. Di sana ada juga yang hijau-hijau ketika Winter (musim dingin). Dia mulai penghijauan,” jelas Novie.

“Yang uniknya lagi, di sana itu anak-anak yang membawa senjata sudah seperti pemandangan biasa, ya seperti mainan anak-anak. Kalau di sini anak-anak SD mainan pistol-pistolan, kalau di sana anak-anaknya sudah bawa pistol beneran. Bahkan senapan serbu buatan Rusia AK-47. Mereka sudah pegang semua. Mereka menganggap senjata api itu bukan barang aneh lagi. Bahkan di pasar itu sudah digantung dan dijual umum. “Unik aja sih, apalagi basic saya bukan dari Brimob. Kaget aja, tapi gak ditunjukkan ke mereka. Ya ngebatin aja,” ungkapnya dengan tersenyum.

Lebih lanjut, menurut Novie, dalam menjalankan tugas pengamanan atau menjaga perdamaian di Sudan Selatan,  PBB, khususnya pasukan perdamaian, tinggalnya berada diantara dua separatis. Separatis A dan B ini berebut wilayah, pasukan perdamaian dari PBB berada di tengah-tengahnya.

“Yang kita lindungi ya masyarakat sipil yang ada di daerah tersebut, yang tidak bersenjata,” tandasnya.

Karena daerah tersebut merupakan daerah yang rawan dengan aksi kontak senjata, Novie mengatakan, hal tersebut sudah menjadi pemandangan yang biasa, karena tiap hari, tiap malam sering terjadi kontak senjata antara kedua kelompok yang berseteru tersebut.

“Bahkan kalau malam hari sudah seperti kembang api pemandangannya. Itu bedanya polisi Republik Indonesia di lokasi konflik, kita dituntut untuk bisa menangani setiap kasus. Ibaratnya, berada di TKP, ya harus bisa menyelesaikan,” tutur Novie.

Selama dua periode bertugas di daerah konflik, rasa kangen dengan keluarga tentu juga ada. Namun, untuk bisa berhubungan dengan keluarga di tanah air, dan karena di daerah konflik tersebut adalah daerah blank spot, maka untuk berkomunikasi dengan keluarga terpaksa menggunakan telepon satelit yang telah disediakan oleh PBB.

“Waktunya gak banyak. Kita diberi waktu hanya 2 jam untuk berkomunikasi dengan keluarga di tanah air oleh petugas PBB yang ada di sana. Kalau giliran kita kena jatah siang hari, jelas keluarga di tanah air yang menerima telepon kita pasti tengah malam. Tapi semua tetap disyukuri,” pungkasnya.

Penulis: Ipon
Editor: Nurhayati

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed