Kabargupas.com, BALIKPAPAN – Memperingati Hari Raya Galungan, personel Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang beragama Hindu bersama umat Hindu Kota Balikpapan menggelar persembahyangan di Pura Giri Jayanatha Jalan Hendrawan Sie Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (02/08/2023).
Persembahyangan berlangsung khidmat dipimpin Ida Pedanda Gede Prabawa Nandagiri, dihadiri oleh seluruh personel Polda Kaltim yang beragama Hindu. Tak hanya itu, kegiatan ini juga dihadiri oleh AKBP I Made Subudi, S.T selaku Kabag Binops Ditkrimum Polda Kaltim yang juga Ketua Binroh Hindu Polda Kaltim, serta sekitar 250 warga Hindu Kota Balikpapan.
Personil Polri yg beragama Hindu melaksanakan giat ibadah berdasarkan Surat dari SSDM Mabes Polri No. B/5934/VII/BIN.1.4/2023/SSDM tanggal 26 Juli 2023 Peihal : Persembahyangan Bersama Anggota Polri Yang Beragama Hindu.
Ketua PHDI Kota Balikpapan, I Nengah Kayun Widyartana didampingi Ketua Panitia Pelaksana Ketut Suarna mengatakan, Hari Raya Suci Galungan memiliki makna perayaan kemenangan kebajikan (dharma) melawan kebatilan (adharma).
“Harapannya agar umat bisa memaknai perayaan ini lebih mendalam, sehingga bisa menjadi pribadi yang lebih baik ke depannya,” kata I Nengah Kayun.
Menurut I Nengah, umat Hindu merayakan Hari Raya Suci Galungan karena mitologi Hari Raya Suci Galungan, melawan seorang raksasa sakti bernama Mayadenawa yang terkenal angkuh dan sombong.
Berdasarkan mitologi Hindu Bali yang berkembang tentang Hari Raya Suci Galungan menyebutkan, lanjut I Nengah, ada seorang raksasa sakti dan sangat ditakuti bernama Mayadenawa. Karena ingin disembah oleh masyarakat Hindu Bali, maka raksasa Mayadenawa kemudian melarang semua masyarakat Hindu Bali datang ke pura dan memuja Tuhan.
“Lama kelamaan rakyat menjadi sengsara dan dunia menjadi tidak seimbang. Melihat Mayadenawa sikapnya yang demikian, Bhatara Indra lalu diutus oleh para dewa ke dunia untuk menghancurkan kejahatan raksasa Mayadenawa,” ujarnya.
Lebih lanjut, kata I Nengah, Bhatara Indra membawa pasukan tempur yang siap menyerang raksasa sombong itu. Namun, untuk membunuh Mayadenawa ternyata tidak mudah. Karena raksasa sombong dan angkuh itu juga sakti mantraguna.
“Pasukan Bhatara Indra sampai kewalahan. Mayadenawa terkenal sakti karena bisa berubah wujud dalam pelariannya, sehingga beberapa kali berhasil mengelabui Bhatara Indra,” tandas I Nengah.
Tidak hanya itu, Mayadenawa berhasil meracuni sebuah mata air, yang mengakibatkan seluruh pasukan Bhatara Indra mati saat meminum airnya. Namun berkat kesaktian Bhatara Indra, ditancapkanlah kerisnya ke tanah, dan muncul mata air yang bisa menghidupkan kembali pasukannya.
“Konon, mata air tersebut dinamai Tirta Empul. Pada akhirnya, kebaikan akan selalu menang dari kejahatan. Meski sakti, Mayadenawa akhirnya bisa dikalahkan. Mayadenawa terdesak, dia melarikan diri dengan menjejakkan telapak kakinya secara miring. Tempat itu lalu dikenal dengan nama Tampak Siring. Akhirnya Bhatara Indra bisa membunuh Mayadenawa,” jelas I Nengah.
Menurut I Nengah, kemenangan Bhatara Indra dalam menghancurkan kejahatan Mayadenawa ini kemudian dirayakan sebagai Hari Raya Galungan dan Kuningan, yang secara filosofis bermakna, merayakan kemenangan kebajikan (Dharma) melawan kebatilan (Adharma).
I Nengah juga menjelaskan, ada delapan rangkaian yang harus dilewati umat Hindu selama perayaan Galungan dan Kuningan. Hari Raya Suci Galungan melewati banyak rangkaian, yang memiliki nilai filosofis tinggi.
Adapun rangkaiannya adalah Tumpek Wariga yakni upacara ini dilakukan pada Saniscara (Sabtu) Kliwon wuku Wariga. Tumpek Wariga atau disebut juga Tumpek Bubuh ini jatuhnya 25 hari sebelum Galungan. Pada saat Tumpek Wariga masyarakat Hindu Bali memuliakan tumbuh-tumbuhan yang berperan besar dalam kehidupan manusia dan alam semesta.
Secara ringkas, jelas I Nengah, Tumpek Wariga merupakan hari untuk memberi penghormatan kepada alam dan lingkungan, khususnya tumbuh-tumbuhan. Perayaan Tumpek Wariga juga merupakan penjabaran dari salah satu inti konsep Tri Hita Karana, yakni membangun hubungan harmonis antara manusia dengan alam.
Menurut I Nengah, perayaan Tumpek Wariga di Bali memiliki tujuan secara lahir dan batin. Secara lahir, tumbuh-tumbuhan merupakan teman hidup sekaligus sumber makanan bagi manusia sehingga perlu dirawat dengan baik agar sama-sama hidup secara harmonis.
“Sedangkan secara batiniah, Tumpek Wariga menjadi momen untuk memohonkan kekuatan hidup pada tumbuh-tumbuhan agar senantiasa dapat dikembangkan dengan sarana upacara dan upakara. Terlebih, praktik keagamaan menurut Hindu di Bali tidak terlepas dari berbagai ritual dan upakara yang sumbernya juga lebih banyak dari alam,” tutupnya.
Penulis: Poniran
Editor: Nurhayati
Comment