Kabargupas.com, SAMARINDA – Insiden antara manusia dan buaya yang kerap terjadi di Kalimantan Timur (Kaltim) tepatnya di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur (Kutim) akhirnya mendapat perhatian serius dari DPRD Provinsi Kaltim.
Anggota Komisi IV DPRD Kaltim, Agusriansyah Ridwan, menyatakan dukungannya terhadap rencana Pemerintah Kabupaten Kutim yang tengah menyusun program penangkaran buaya di kawasan pesisir dan perairan Sungai Sangatta.
Dengan 83 kasus dalam rentang 2014-2023, Kaltim tercatat sebagai wilayah dengan insiden konflik buaya-manusia tertinggi kedua secara nasional.
Kutim sendiri menjadi daerah rawan, di mana serangan buaya bahkan menyebabkan korban jiwa dalam dua tahun terakhir.
Menanggapi situasi tersebut, Agusriansyah, menilai upaya penangkaran bukan hanya sebagai langkah konservasi, tetapi juga peluang membentuk kawasan wisata edukatif yang aman dan produktif.
“Penangkaran ini bukan hanya tentang menyelamatkan buaya, tapi juga tentang menyelamatkan masyarakat dari ancaman serangan,” kata Agusriansyah, ditemui awak media dalam sebuah kegiatan, Sabtu (03/05/2025).
“Jika dikelola dengan baik, kawasan ini bisa jadi wisata edukatif sekaligus ruang belajar konservasi bagi generasi muda,” tambahnya.
Menurut Agusriansyah, wilayah seperti Teluk Pandan, Rawa Bening, dan Kenyamanan Sangatta Utara disebut potensial untuk dijadikan lokasi penangkaran karena berdekatan dengan habitat alami buaya dan memiliki daya tarik sebagai destinasi konservasi.
“Penangkaran bisa menjadi sarana pengendalian populasi buaya yang selama ini hidup liar dan sering bersinggungan dengan aktivitas masyarakat,” ucap legislator PKS ini.
Dia menambahkan, kawasan yang dikelola secara profesional tidak hanya mampu mengurangi risiko serangan, tetapi juga menjadi pusat edukasi lingkungan dan penelitian.
“Kami mendorong agar proyek ini dikelola secara profesional dan melibatkan semua pihak, mulai dari pemerintah daerah, komunitas, hingga pelaku usaha agar manfaatnya terasa luas dan berkelanjutan,” tambahnya.
Selain itu, ia mendorong pendekatan kolaboratif yang melibatkan pemerintah daerah, pihak swasta, dan masyarakat lokal agar program penangkaran berjalan berkelanjutan. Melalui partisipasi aktif berbagai elemen, penangkaran buaya berpotensi menjadi ikon wisata baru Kutim yang tidak hanya mendidik, tetapi juga memberi manfaat ekonomi.
Agusriansyah juga menyinggung potensi industri turunan yang bisa dikembangkan secara legal, seperti produk kulit dan aktivitas edukatif tentang satwa liar. Menurutnya, program ini bisa membuka lapangan kerja baru sekaligus meningkatkan kesadaran publik terhadap pentingnya konservasi.
la menyebut konflik buaya yang terus terjadi tidak lepas dari kerusakan habitat akibat aktivitas ilegal seperti penambangan liar. Kondisi ini mempersempit ruang hidup buaya muara, sehingga mereka kerap masuk ke area pemukiman dan memicu konflik.
“Selama habitat mereka terus rusak, maka konflik akan terus terjadi. Penangkaran ini harus menjadi awal dari komitmen jangka panjang kita terhadap konservasi dan keselamatan masyarakat,” pungkasnya. (Adv)
Comment