by

May Day: PRT dan Buruh Perempuan Tolak No Work No Pay, Bersatu Sahkan RUU PPRT

Kabargupas.com, JAKARTA – Para Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan buruh perempuan melakukan aksi May Day, 1 Mei 2023 dengan melakukan aksi di Bundaran HI Jakarta dan long march hingga Patung kuda, Jakarta. Para buruh dan PRT melakukan aksi dengan membawa ember warna-warni, serta membawa gunting.

Ember merupakan simbolisasi kerja-kerja PRT, sedangkan gunting merupakan penolakan terhadap pemotongan upah buruh perempuan yang membuat pemiskinan buruh perempuan. Aksi ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan mendalam yang dialami para buruh perempuan dan para PRT.

Para PRT hingga hari ini masih menunggu pembahasan RUU PPRT masuk ke paripurna DPR RI. Di tengah apresiasi terhadap pemerintah yang baru menyelesaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), para PRT mendorong DIM untuk dibawa ke rapat paripurna dan dibahas di DPR. Pembahasan ini seharusnya sudah selesai setelah Lebaran.

Koordinator JALA PRT, Lita Anggraini menyatakan, di tengah hiruk-pikuk isu Pemilu dan pencalonan Presiden yang sangat ramai, pihaknya mendorong pemerintah dan DPR tetap konsisten untuk membahasnya setelah Lebaran.

Hari Buruh merupakan momentum untuk mendorong, mengingatkan bahwa masih banyak isu marjinal seperti PRT dan buruh yang harus diperjuangkan di tengah gegap gempita isu Pemilu dan pencalonan Capres.

“Aksi hari ini sebagai pengingat bahwa perjuangan RUU PRT harus dituntaskan pasca May Day hari ini,” kata Lita Anggraini.

Kondisi lain, dialami para buruh yang sedang berjuang untuk menolak No Work No Pay yang dinyatakan oleh Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah. Menaker menyatakan bahwa untuk meminimalisir PHK, maka perusahaan boleh menerapkan no work no pay bagi para buruh.

Kebijakan ini sangat merugikan para buruh, terlebih buruh perempuan, karena pengusaha bisa dengan sewenang-wenang menyatakan tidak akan menggaji buruh dengan kondisi tertentu, seperti ketika buruh perempuan sedang cuti kehamilan, cuti haid, sakit, serta lainnya. Pasal dalam UU Ketenagakerjaan ini sangat simplifikasi dan bisa disalahartikan yang berujung pada kesewenang-wenanangan.

Pengurus Perempuan Mahardhika, Vivi Widyawati mengatakan, pihaknya mendata, terdapat ratusan buruh perempuan garmen yang terpuruk akibat aturan no work no pay, ada buruh perempuan yang kemudian hanya dipekerjakan sesaat dengan dalih no work no pay.

“Ini seperti jadi pasal karet yang mematikan hak buruh perempuan untuk bekerja. Padahal ada pasal yang mengijinkan cuti haid, cuti melahirkan, sakit, izin, dan lainnya yang penerapannya akan dilanggar pengusaha, dan ini sangat merugikan buruh perempuan,” kata Vivi Widyawati.

Perempuan Mahardhika juga mendata, dari puasa, Lebaran dan hingga hari ini, banyak buruh perempuan yang nasibnya terkatung-katung akibat kebijakan no work no pay. Mereka adalah para buruh perempuan garmen yang harus bekerja keras sebelum Lebaran dan harus memenuhi kebutuhan pasokan di masa Lebaran hingga Lebaran usai, namun ini dianggap sebagai pekerjaan tambahan tanpa tambahan gaji.

“Jadi para buruh perempuan ini adalah mereka yang harus bekerja memenuhi kebutuhan di hari libur, ini semua harus mereka penuhi sebelum libur Lebaran, tapi pekerjaan ini tidak dianggap sebagai kerja. Ketika Lebaran, mereka lalu diberikan libur, namun ini bukan libur yang digaji, libur Lebaran dianggap tidak bergaji atau no work no pay,” kata Vivi Widyawati.

Selain itu ada persoalan lain yang mengemuka, yaitu adanya UU Cipta Kerja yang merugikan buruh perempuan, dan juga kebijakan Permenaker No.5 Tahun 2023 yang melanggengkan Kemiskinan Buruh Perempuan.

Permenaker No 5 tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor Yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global yang diterbitkan pada 7 Maret 2023 oleh Menteri Ketenagakerjaan ini adalah peraturan yang diskriminatif dan memberikan dampak pemiskinan pada buruh perempuan.

Ini merupakan perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah mulai dari kebijakan penangguhan upah minim perlindungan, upah rendah, lingkungan kerja yang tidak aman dan pengabaian hak maternitas dan reproduksi. Ini adalah cerminan bagaimana Menteri Ketenagakerjaan tidak pernah menjadikan buruh perempuan sebagai pusat/core didalam membuat sebuah kebijakan.

Alih-alih memberikan perlindungan dan mempertahankan kelangsungan bekerja justru sebaliknya Permen ini akan menghilangkan perlindungan, mengabaikan hak reproduksi buruh perempuan seperti cuti haid, cuti hamil dan melahirkan, dan cuti keguguran serta menjadikan buruh tidak memiliki kepastian kerja ditengah kontrak kerja yang semakin pendek.

Penyesuaian waktu kerja yang diatur didalam permen ini pada prakteknya akan menjadikan setiap buruh adalah buruh harian karena waktu kerja dan upah dihitung berdasarkan satuan waktu dan hasil.

Menurut Jihan Faatiah dari Perempuan Mahardhika, pengurangan upah sebesar 25% adalah pelanggaran hak yang dilegalkan oleh Permenaker dan menjadikan buruh tidak menerima upah yang seharusnya mereka terima sesuai dengan ketentuan upah yang berlaku.

“Upah minimum adalah hak dasar yang tidak boleh dilanggar sehingga pengurangan waktu dan jam kerja seharusnya tidak boleh berkonsekuensi terhadap perngurangan upah buruh,” kata Jihan Faatiah.

Fanda Puspitasari dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), kebijakan pengurangan upah ini akan membuat hidup buruh perempuan semakin terpuruk didalam kemiskinan.
Dengan adanya persoalan ini, maka di Hari Buruh 1 Mei 2023 maka para PRT dan buruh perempuan yang tergabung dalam Aliansi PRT dan Buruh Perempuan menuntut:

  1. Mendorong pemerintah dan DPR segera bahas dan segera sahkan RUU PPRT
  2. Menolak no work no pay, tolak UU Cipta Kerja dan Permenaker No 5/2023 yang merugikan buruh perempuan
  3. Perjuangkan upah perempuan yang tidak diskriminatif agar perempuan tidak terpuruk dalam kemiskinan.

Penulis: Poniran
Sumber: Rilis

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed