Oleh, Hery Sunaryo
Pemerhati Kebijakan Publik Kota Balikpapan
Salah satu penyebab rusaknya lingkungan di Kota Balikpapan karena banyaknya pembukaan lahan oleh pengembang perumahan.
Terlebih pengembang perumahan kebanyakan tidak memiliki izin, sebagai persyaratan untuk menjalankan usahanya, atau seringkali para pengusaha pengembang perumahan di Kota Balikpapan melakukan kegiatan usahanya sebelum izinnya terpenuhi.
Maka dibutuhkan ketegasan Pemerintah Kota (Pemkot) Balikpapan dalam menindak tegas para pengusaha pengembang perumahan yang tidak menjalankan isi dokumen perizinannya, atau menindak tegas para pengusaha pengembang perumahan yang menjalankan usahanya sebelum memiliki dokumen perizinan.
Sebagaimana temuan hasil sidak anggota DPRD Kota Balikpapan pada Selasa 23 mei 2023 dengan mendatangi salah satu perusahaan pengembang perumahan di Balikpapan yang diduga telah menjalankan usahanya dengan membuka lahan dan membangun sebelum terbit dokumen perizinannya.
Undang Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Pasal 36 menyebutkan: “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.” Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).
Amdal ini sangat penting karena memuat hasil kajian dampak suatu usaha atau kegiatan terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dampak negatif dari pengembang perumahan ini dapat diantisipasi, semisal akibat pembukaan lahan terjadi banjir maka didalam ijinnya pengembang harus membuat bozem dan menyediakan RTH dan lain-lain, rekomendasi isi dari dokumen perizinan ini harus dijalankan.
Karena banyak pengembang perumahan yang menjadikan dokumen perizinan sebagai dokumen sakti begitu keluar ijinnya langsung dimasukan lemari, padahal isi dari dokumen ijin tersebut harus dijalankan, sehingga peran pemerintah kota Balikpapan apabila ada pengembang perumahan yang tidak menjalankan isi dokumen perizinannya atau menjalankan usahanya tidak sesuai dengan dokumen perizinannya maka harus ditindak tegas.
Sementara itu, izin dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) akan diberikan oleh kepala daerah, berdasarkan hasil evaluasi Dokumen Lingkungan Hidup.
Oleh karena itu, sama halnya dengan izin lingkungan, dan izin pengembang perumahan harus dimiliki di awal menyusun perizinan, tidak boleh menjalankan usaha sebelum memiliki dokumen perizinan.
Kemudian kalau kita lihat Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, memandatkan bahwa 30 persen dari luasan wilayah kota/kawasan perkotaan harus berwujud RTH, dengan komposisi 20% RTH Publik dan 10% RTH Privat.
Berdasarkan mandat UU 26/2007 ini Pemerintah Kota Balikpapan membuat Perda Nomor 12 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan Tahun 2012- 2032 serta Perda Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau.
Miris sekali jika lihat data hasil identifikasi DLH Balikpapan bahwa RTH Publik yang saat ini di Kelola oleh Pemerintah kota Balikpapan hanya sebesar 0,57 persen tidak sampai satu persen, padahal UU dan Perda memandatkan 20 persen untuk RTH Publik artinya masih jauh dari yg dimandatkan Perda kota Balikpapan, sehingga diperlukan ketegasan pemerintah Kota Balikpapan dalam memahami problem yang terjadi di Kota Balikpapan.
Selanjutnya RTH Privat yang wajib dikelola pengembang perumahan, perusahaan dan rumah sakit yang berada di Kota Balikpapan, hanya sebesar 1,69 persen, dari masih jauh dari capaian untuk target 10 persen RTH Privat di Kota Balikpapan.
Sehingga, dibutuhkan ketegasan pemerintah kota Balikpapan menindak tegas para pengembang perumahan dan pelaku usaha yang melanggar atau tidak menjalankan isi dari dokumen perizinannya karena salah satu syarat izin pengembang perumahan adalah RTH 30% karena ini salah satu strategi pemerintah kota Balikpapan dalam menjalankan UU 26/2007 ttg tata ruang wilayah yang memandatkan 30% RTH untuk wilayah perkotaan. (*)
Comment