Kabargupas.com, BALIKPAPAN – Kasus dugaan grooming dan sextortion terhadap anak di bawah umur yang melibatkan korban warga negara (WN) Swedia berhasil diungkap jajaran Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Kepolisian Daerah Kalimantan Timur (Polda Kaltim).
Kasus ini menjadi perhatian karena menyangkut penyelamatan korban lintas negara dan melibatkan kerja sama antara Polda Kaltim, Kepolisian Swedia, serta Kedutaan Besar Republik Indonesia.
Kabid Humas Polda Kaltim, Kombes Pol Yulianto didampingi Wadir Krimsus AKBP Meilki Bharata dan Kompol Ariansyah menjelaskan, korban merupakan remaja perempuan berusia 15 tahun yang menjadi target eksploitasi seksual daring oleh pelaku berinisial AMZ, warga Balikpapan.
“Informasi awal kami terima pada 7 Juli 2025 melalui kanal Info Pintar Mabes Polri. Seorang ibu warga negara Swedia melaporkan bahwa anaknya menjadi korban pemerasan seksual secara online,” kata Yulianto, saat jumpa pers di Mako Polda Kaltim Jalan Syarifuddin Yoes Balikpapan, Rabu (16/07/2025).
Pelaku, menurut Yuliyanto, disebut memanfaatkan sejumlah platform media sosial dan aplikasi komunikasi seperti Instagram, WhatsApp, Discord, TikTok, hingga game daring untuk mendekati korban.
“Setelah membangun kedekatan emosional, pelaku meminta konten asusila dari korban dan kemudian menggunakannya untuk memeras secara materi,” ungkap Yulianto.
Pelaku AMZ, lanjut Yuliyanto, ditangkap pada 15 Juli 2025 di rumahnya di kawasan Balikpapan Timur. Dalam pemeriksaan awal, pelaku mengakui perbuatannya.
“Dari tangan pelaku, polisi mengamankan sejumlah barang bukti, satu unit laptop, dua ponsel, lima akun e-mail, serta sejumlah akun digital seperti PayPal, Dis untuk TikTok, WhatsApp, dan dua akun Instagram. Akses ke sejumlah game daring yang digunakan pelaku untuk berkomunikasi juga turut disita,” tukasnya.
Atas perbuatannya, tambah Yuliyanto, pelaku dijerat dengan beberapa pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yakni Pasal 27B ayat (2) Jo Pasal 45 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2024. Kemudian Pasal 27 ayat (1) Jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE dan Pasal 43 ayat (1) dan ayat (10) terkait distribusi dan pemerasan melalui dokumen elektronik.
Sementara itu, Wakil Direktur Reskrimsus, AKBP Meilki Bharata menambahkan, kasus ini ditangani dengan pendekatan restorative justice, mengingat korban tidak dapat membuat laporan langsung di Indonesia.
“Keluarga korban juga memilih tidak membawa kasus ini ke jalur hukum internasional. Namun, kalau ini diproses di Swedia, kemungkinan pelaku menghadapi hukuman yang jauh lebih berat,” kata Meilki.
Berkat koordinasi yang baik antara Polda Kaltim dengan Kepolisian Swedia, dan pihak Kedubes, terangnya, pendekatan restoratif akhirnya bisa ditempuh.
“Kami mengingatkan pentingnya peran orang tua dalam memantau aktivitas digital anak-anak. Kepolisian akan menindak tegas setiap laporan terkait kejahatan seksual berbasis digital, terutama yang melibatkan anak di bawah umur,” tutupnya.
Poniran | Nur
Comment