by

Balikpapan Menanggung Risiko Migas, DBH Malah Terancam Dipangkas

Oleh: Hery Sunaryo SH. MH
Pemerhati Kebijakan Publik Kota Balikpapan

Kabargupas.com, BALIKPAPAN – Wacana pemerintah pusat untuk memangkas Dana Bagi Hasil (DBH) Migas ke Kota Balikpapan menuai keprihatinan mendalam. Pasalnya, Balikpapan merupakan kota pengolah migas terbesar di Indonesia, namun justru harus menanggung berbagai risiko sosial, ekonomi, dan lingkungan.

“Balikpapan setiap hari menanggung polusi udara, asap, penyakit ISPA, banjir, urbanisasi pendatang pencari kerja, hingga risiko tumpahan minyak. Ironisnya, dana kompensasi transfer dari pusat justru terancam dipangkas,” ujarnya.

Kota ini, menurut Hery, menjadi sentra energi nasional berkat keberadaan Kilang Pertamina Balikpapan dengan kapasitas 260 ribu barel per hari, yang bahkan tengah diperluas hingga 360 ribu barel per hari. Namun, perluasan kilang ini juga memunculkan risiko baru pembabatan puluhan bahkan ratusan hektare hutan, yang memperparah kerusakan lingkungan dan meningkatkan ancaman banjir.

“Risiko yang ditanggung Balikpapan tidak berhenti di situ. Ledakan dan kebakaran kilang berulang kali terjadi, termasuk insiden besar pada Maret 2021 yang menelan korban jiwa. Sementara tumpahan minyak di Teluk Balikpapan pada 2018 mencemari 12 ribu hektare laut, menewaskan lima orang, serta menimbulkan kerugian lebih dari Rp270 miliar,” tandasnya.

Belum lagi bencana banjir yang nyaris terjadi setiap musim hujan, ungkap Hery, ribuan rumah warga terendam dengan kerugian ditaksir mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Sayangnya, seluruh risiko lingkungan dan sosial tersebut sama sekali tidak tercermin dalam formula pembagian DBH atau Transfer ke Daerah (TKD).

Lebih lanjut, kata Hery, ketergantungan Balikpapan terhadap transfer pusat juga masih tinggi. Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya mampu menutup 25–30 persen APBD, sedangkan sisanya ditopang oleh DBH dan transfer lain. Pada 2021 lalu, rencana pemangkasan hampir 50 persen dari sekitar Rp600 miliar sempat mengguncang keuangan daerah di tengah krisis.

“Pemkot Balikpapan tidak boleh hanya menunggu belas kasihan pusat. Balikpapan harus memperjuangkan revisi formula DBH agar statusnya sebagai daerah pengolah migas strategis diakui. Di sisi lain, kemandirian PAD dan efisiensi belanja daerah wajib segera diperkuat,” tegasnya.

Lebih jauh, ia menekankan bahwa setiap rupiah DBH yang diterima harus digunakan secara produktif. “DBH harus diarahkan untuk pembangunan nyata, penyediaan air baku, pengendalian banjir, dan penguatan ekonomi lokal sebagai penopang IKN. Balikpapan tidak boleh terus hidup di bawah bayang-bayang pemangkasan dana pusat,” pungkasnya. (*)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed