by

Pemangkasan Dana Transfer ke Kaltim Picu Kekhawatiran: Kontribusi Besar, Dukungan Minim

Oleh, Hery Sunaryo
Pemerhati Kebijakan Publik Kota Balikpapan

Kabargupas.com, BALIKPAPAN – Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menghadapi tantangan serius setelah pemerintah pusat memutuskan memangkas secara signifikan Dana Transfer Umum (DTU) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026.

Langkah efisiensi fiskal tersebut dinilai justru mengancam keberlangsungan pembangunan daerah, khususnya di wilayah penghasil sumber daya alam.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), total DTU yang diterima Kaltim pada 2026 hanya sebesar Rp2,49 triliun. Rinciannya, Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp1,62 triliun dan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp866,62 miliar. Jumlah ini anjlok tajam dibandingkan tahun 2025 yang mencapai Rp7,14 triliun, dengan DBH mencapai Rp6,07 triliun.

Secara nasional, total Transfer Keuangan Daerah (TKD) dalam APBN 2026 juga dipangkas menjadi Rp650 triliun, turun sekitar 23 persen dari tahun sebelumnya.

“Efisiensi” yang Menggerus Kemampuan Daerah

Kebijakan ini disebut pemerintah pusat sebagai bagian dari langkah efisiensi fiskal. Namun, di tingkat daerah, pemangkasan tersebut dinilai sebagai “pisau bermata dua” — memperbaiki anggaran negara di satu sisi, namun melukai kemampuan fiskal daerah di sisi lain.

Kaltim, yang selama ini menjadi penyumbang besar devisa nasional dari sektor tambang, migas, perkebunan, dan kehutanan, justru menerima alokasi fiskal yang semakin kecil.

“Seperti petani dan tengkulak. Daerah penghasil bekerja keras memanen kekayaan alam, tapi hasilnya lebih banyak dinikmati pihak lain,” kata Hery Sunaryo, Rabu (15/10/2025).

Padahal, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa kekayaan alam dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketika makna “rakyat” tidak lagi mencakup masyarakat di daerah penghasil, maka prinsip keadilan sosial terancam menjadi slogan kosong.

Dampak Langsung: Pembangunan Tersendat, Layanan Publik Tertekan

Di level kabupaten/kota, dampak pemangkasan DTU juga terasa nyata. Kabupaten Kutai Timur, misalnya, mengalami penurunan DTU hingga 48,8 persen dari Rp6,37 triliun pada 2025 menjadi Rp3,26 triliun pada 2026.

Ketua DPRD Kutim menyatakan bahwa hampir setengah program pembangunan di daerahnya terpaksa disusun ulang. “Pemangkasan ini bukan sekadar angka, tapi berdampak langsung pada pelayanan pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur,” ujarnya.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan tentang dasar kebijakan pemangkasan tersebut. Apakah benar-benar berbasis data objektif dan formula yang adil, atau ada unsur bias kebijakan yang tidak dijelaskan secara transparan?

Risiko Kontraksi Fiskal dan Ketimpangan Struktural

Jika pola pemotongan anggaran terus berlanjut, sejumlah daerah di Kaltim diperkirakan akan mengalami kontraksi fiskal jangka menengah. Penurunan investasi, penyempitan lapangan kerja, dan melemahnya daya beli masyarakat bisa menjadi konsekuensi yang sulit dihindari.

Kota Balikpapan sebagai penyangga utama Ibu Kota Nusantara (IKN) juga merasakan tekanan fiskal yang sama. Dengan ruang fiskal yang menyempit, kemampuan kota ini untuk mendukung proyek strategis nasional tersebut dikhawatirkan ikut terganggu.

“Keberhasilan IKN bergantung pada kesiapan daerah sekitarnya. Bagaimana mungkin Balikpapan menopang IKN jika anggaran pendukungnya justru dipangkas?” kata Hery.

Upaya Mandiri Tidak Cukup Tanpa Dukungan

Pemerintah Provinsi Kaltim telah berupaya memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui optimalisasi pajak, retribusi, serta menarik investasi swasta hingga Rp20 triliun. Namun, tambahan PAD tersebut masih belum mampu menutup kehilangan lebih dari Rp14 triliun akibat pemangkasan DTU.

Kemandirian fiskal memang menjadi tujuan jangka panjang, namun bukan berarti daerah dilepaskan begitu saja tanpa keberpihakan fiskal dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah menegaskan bahwa mereka tidak menolak efisiensi, tetapi menuntut keadilan fiskal yang transparan dan proporsional.

Tuntutan Daerah: Dialog dan Transparansi Fiskal

Desentralisasi fiskal seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai pembagian dana, melainkan sebagai upaya mewujudkan pemerataan pembangunan. Pemerintah pusat pun didesak untuk membuka ruang dialog fiskal yang lebih terbuka dengan daerah, bukan sekadar melakukan sosialisasi satu arah.

Kaltim dan daerah penghasil lainnya tidak meminta belas kasihan, melainkan menagih hak sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD).

Tanpa koreksi kebijakan, Indonesia berisiko kembali terjebak dalam paradoks lama: daerah kaya sumber daya namun miskin anggaran. Dan jika ini dibiarkan, efisiensi hanya akan menjadi eufemisme baru dari ketimpangan struktural yang semakin dalam. (*)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed