by

Rapat RKPD Kaltim 2025 Bertele-tele, Abdulloh Walk Out

Kabargupas.com, SAMARINDA – Rapat pembahasan Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) DPRD Kalimantan Timur untuk Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Tahun 2025 yang seharusnya menjadi ruang artikulasi suara rakyat, justru berubah menjadi ajang tarik-ulur teknis tanpa arah.

Ketidakefisienan proses itu mendorong Abdulloh, Ketua Komisi III DPRD Kaltim sekaligus anggota Panitia Khusus (Pansus), memilih walk out dari ruang sidang.

Politikus senior dari Fraksi Golkar ini menyampaikan kekecewaannya secara terbuka. Ia menilai, dinamika pembahasan yang digelar bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), Bappeda, dan BPKAD di Gedung E lantai 1, tidak lagi menjunjung semangat keberpihakan pada aspirasi masyarakat.

“Saya keluar dari ruangan, rapat semestinya berguna, tapi kenyataannya hanya bertele-tele dan belum ada hasilnya,” ujar Abdulloh, Senin (14/07/2025).

Abdulloh menuturkan, telah ada pembahasan awal yang cukup substansial sebelumnya di Balikpapan. Namun, keputusan yang sudah dibangun bersama itu mendadak berubah, hanya karena perdebatan soal penyusunan kembali “kamus usulan”.

“Sekarang mau direvisi lagi cuma gara-gara usulan kamus-kamus saja. Padahal tanpa kamus juga sebenarnya tidak masalah. Terlalu berbelit-belit,” ungkap Abdulloh, kecewa.

Sikap walk out Abdulloh bukan sekadar reaksi spontan. Ia menyoroti lebih dalam persoalan mendasar, minimnya ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan usulan dalam Pokir. Ia mengkritik keras adanya pembatasan teknis dan administratif yang menutup kran aspirasi warga, khususnya dalam pengajuan hibah tempat ibadah dan kebutuhan prioritas lainnya.

“Pokir seharusnya mengakomodir seluruh aspirasi rakyat. DPRD saat reses mestinya bisa menyerap semua yang ada di masyarakat. Tapi kalau seperti sekarang, masyarakat juga sulit menyampaikan. Ada pembatasan-pembatasan,” tukasnya.

Menurut Abdulloh, Pokir semestinya menjadi jembatan antara suara rakyat dengan kebijakan pemerintah. Namun jika alurnya justru menyulitkan, maka tujuan dari proses perencanaan partisipatif ini patut dipertanyakan.

Fenomena ini memperlihatkan paradoks saat sistem seharusnya menjadi alat pemberdayaan, justru berubah menjadi pagar tinggi yang membatasi akses masyarakat terhadap kebijakan publik.

“Dalam dunia birokrasi modern, istilah seperti “kamus usulan” dan “verifikasi administrasi” memang penting.Namun, tatkala hal-hal teknis itu justru mengaburkan urgensi kebutuhan rakyat, maka yang terjadi adalah penyimpangan arah dari semangat demokrasi” ucapnya.

Langkah Abdulloh keluar dari forum, patut menjadi refleksi bersama, apakah kita masih memprioritaskan rakyat, atau sudah tersandera oleh kerumitan teknokratis yang menjauhkan keputusan dari realitas sosial?.

Ruang perencanaan pembangunan daerah seperti RKPD bukan semata soal angka dan program, tapi juga keberanian untuk mendengar dan merangkul. Walk out Abdulloh adalah sinyal peringatan bahwa sistem yang tidak adaptif terhadap aspirasi rakyat hanya akan menciptakan jurang antara kebijakan dan kebutuhan.

“Kini bola ada di tangan seluruh anggota DPRD Kaltim dan TAPD. Apakah mereka mau menata ulang komitmen agar Pokir kembali ke ruh dasarnya menjadi saluran demokratis untuk harapan rakyat? Ataukah mereka tetap nyaman dalam labirin birokrasi yang menjauhkan kebijakan dari denyut kehidupan masyarakat? Yang jelas, suara rakyat bukan sekadar data untuk diolah, melainkan amanah untuk diwujudkan” tutupnya.

Poniran | Ist

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed