Kabargupas.com, BALIKPAPAN – Rumah Sakit Ibu dan Anak yang rencananya akan dibangun di lahan milik Pemerintah Kota (Pemkot) di kawasan Balikpapan Barat, ternyata masih terkendala oleh sejumlah persoalan.
Di lokasi tersebut, sejumlah warga yang mengaku sebagai pemilik lahan dan bangunan serta tidak mau mengambil uang pengganti atau uang ganti rugi yang diberikan Pemkot Balikpapan, masih bertahan. Bahkan, sejumlah warga melakukan berlawanan dan mendaftarkan gugatannya ke Pengadilan Negeri Balikpapan.
Kendala ini mendapat tanggapan dari anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Balikpapan, Kalimantan Timur dari Partai NasDem Balikpapan, H. Kamaruddin “Aco” Ibrahim.
“Memang masih adanya persoalan di lahan milik pemerintah kota yang akan dibangun Rumah Sakit Ibu dan Anak di Balikpapan Barat, yakni masih adanya sejumlah warga yang bertahan dan enggan pindah dari lahan tersebut,” kata H. Kamarudin “Aco” Ibrahim ditemui kabargupas.com, Senin (18/07/2022).
Menurut Kamaruddin, persoalan masih adanya warga yang masih bertahan di lokasi tersebut, sebenarnya persoalan yang tidak begitu besar. Kebetulan dirinya tinggal didekat lokasi tersebut, yakni hanya beda 1 RT dari rumah orang tuanya.
“Umumnya masyarakat di sana itu menyambut baik (pembangunan rumah sakit). Saya ada juga berkomunikasi dengan pemilik bangunan, mereka hanya minta keadilan terhadap ganti rugi. Karena ada 1 rumah dihargai Rp 250 juta, sementara rumah lainnya hanya dihargai Rp 80 juta. Yang Rp 80 juta itu menuntut persamaan,” ungkap Kamaruddin.
Selebihnya, ujar Wakil Rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) Balikpapan Barat ini, tidak menjadi persoalan besar. Persoalan utamanya itu adalah hasil DED (Detail Engineering Design) pembangunannya ternyata nilainya bertambah. Jadi, persoalan yang utama adalah saat rumah sakit direncanakan DED-nya belum ada.
“Persoalan di lapangan itu memang persoalan lahan sebetulnya. Namun, persoalan itu tidak begitu besar, tetapi persoalan yang utama adalah pada saat direncanakan, DED nya belum ada. Atas dasar basic design (desain dasar), kemudian OPD langsung menganggarkan. Setelah dianggarkan baru diurus DED-nya,” jelasnya.
Hasil dari DED itu, lanjut Kamaruddin, terjadi kekurangan biaya serta terjadi pula beberapa persoalan perubahan desain bangunan seperti tingkat gedung yang tadinya hanya 3, jadikan 5 tingkat.
“Ini lah yang menyebabkan terjadinya pembengkakan biaya. Tetapi kita sudah konsultasi ke LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah) Jakarta bahwa hal itu masih dibenarkan. Boleh menambahkan sepanjang dasarnya itu adalah DED,” pungkasnya.
Penulis: Ipon
Editor: Nurhayati
Comment